Mereka menatap dengan tajam Manusia kecil.
Tatapan yang luar biasa tajamnya sampai terasa tengah ditusuk-tusuk kepercayaan
dirinya. Dari ujung rambut sampai kaki. Bahkan setiap langkah kakinya, gerak tubuhnya,
maupun kedipan matanya. Tak ada yang luput dari pengawasan mereka. Status siaga
telah dikumandangkan saat itu. Sungguh tiap detik itu begitu sangat lama
sekali. Manusia kecil sudah hilang akal dibuatnya. Keringat dingin mulai
bercucuran membasahi tubuhnya yang mungil itu.
“Ada apa dengan kalian semua?” tanya manusia
kecil. Dia sudah tidak tahan.
Tak satupun kata yang terdengar dari bibir mereka. Akhirnya mereka tanpa adanya komando kembali ke tempat duduknya masing-masing. Manusia kecil cemas. Pikirannya seperti seseorang yang tengah berada dalam perahu yang terkatung-katung di lautan antah berantah.
Tak satupun kata yang terdengar dari bibir mereka. Akhirnya mereka tanpa adanya komando kembali ke tempat duduknya masing-masing. Manusia kecil cemas. Pikirannya seperti seseorang yang tengah berada dalam perahu yang terkatung-katung di lautan antah berantah.
“Dimanakah aku ini?”
Tak berapa lama lonceng bel berbunyi. Dibandingkan
bunyi bel pertanda usai sekolah, lebih tepatnya seperti bunyi bel kebebasan
dari penatnya pelajaran yang tiap hari mereka dapatkan. Namun ada yang janggal
hari itu. Walaupun bel kebebasan telah dipukul, tak satupun murid keluar dari
ruang kelas Manusia kecil.
Manusia kecil memasukkan peralatan tulis menulisnya
sambil melirik-lirik sekelilingnya. Seperti kembali ke masa lalu. Adegan yang
sama terulang kembali. Beberapa dari mereka duduk diam dan yang lainnya
beranjak dari kursi mereka dan berdiri dihadapan Manusia kecil. Ini lebih buruk
dari apa yang ia sangka.
“Ngaku aja deh, cil!” teriak salah satu dari
mereka yang tengah duduk membelakangi dia.
Manusia kecil merasa ini tak adil. Mengapa
jadi dia yang terpojokkan atas semua ini. Apakah asas praduga tak bersalah masih
ada di dunia ini. Apakah mereka tak bisa melihat bahwa ini adalah suatu
kesalahpahaman. Apakah arti teman itu hanya sebatas di bibir saja?
“Apa yang harus kuakui? tak satupun dari
tuduhan itu aku yang lakukan!” jawab Manusia kecil dengan tampang sedikit
emosi. Kesabarannya kini sudah mulai pudar. Tak dapat yang ia lakukan. Keadaannya
sudah sangat terpojok.
“Gak mau ngaku juga ya! Buktinya udah jelas
kok, apa susahnya sih ngaku?” sahut anak disampingnya.
“Masa kalian gak percaya sih, ini semua cuman
salah paham. Biar aku jelasin dulu, kita kan temen?” pinta Manusia kecil mememelas.
“Jelasin apa? Jelasin gimana kamu maling itu
uang, hah!” Teriak anak di depannya
“Ga,
aku bukan maling, aku ga ngambil uang dari kotak “mimpi” kita. Sebenernya itu
uang.....”
“Alah, alesan aja kamu, dasar pembohong!”
potong anak di samping manusia kecil
Suara gaduh mulai terdengar di setiap pojok
ruang kelas. Terdengar jelas kalimat “Maling” dan “Ngaku” terucap
berulang-ulang. Hati kecilnya semakin sakit saat melihat kelakukan teman sekelasnya
itu. “Karena nila setitik, rusak susu sebelangga” kutipan itu terngiang-ngiang
dibenaknya saat itu. Hanya karena satu keburukan, segala nilai kebaikan itu
akan terlihat samar-samar, bahkan hilang tak berbekas. Dan lebih buruknya, Manusia
kecil tengah mencicipi adalah keburukan yang dibuat-buat oleh perasangka buruk
dan fitnah.
Badannya mulai bergetar ditengah serbuan caci
maki. Matanya kini sudah basah. Wajahnya sudah tak kuat lagi untuk menampakkan
diri. Kakinya sudah siap untuk mengambil ancang-ancang untuk lari. Lari yang
jauh. Lari dari masalah ini.
Manusia kecil mengambil tasnya dan berlari
secepat kilat keluar dari kelasnya.
“Woi mau kemana kamu cil! Jangan kabur! Mau kita
laporin ke bu guru?!” teriak teman sekelasnya.
Manusia kecil tak menggubris ancaman mereka. Satu hal yang ada di benaknya.
Secepat-cepatnya sampai di rumah.
“Aku ingin pulang”
0 comments:
Posting Komentar