Rabu, 11 September 2013

Story 5 : Manusia Kecil di hari ini..

Mereka menatap dengan tajam Manusia kecil. Tatapan yang luar biasa tajamnya sampai terasa tengah ditusuk-tusuk kepercayaan dirinya. Dari ujung rambut sampai kaki. Bahkan setiap langkah kakinya, gerak tubuhnya, maupun kedipan matanya. Tak ada yang luput dari pengawasan mereka. Status siaga telah dikumandangkan saat itu. Sungguh tiap detik itu begitu sangat lama sekali. Manusia kecil sudah hilang akal dibuatnya. Keringat dingin mulai bercucuran membasahi tubuhnya yang mungil itu.

“Ada apa dengan kalian semua?” tanya manusia kecil. Dia sudah tidak tahan.
Tak satupun kata yang terdengar dari bibir mereka. Akhirnya mereka tanpa adanya komando kembali ke tempat duduknya masing-masing. Manusia kecil cemas. Pikirannya seperti seseorang yang tengah berada dalam perahu yang terkatung-katung di lautan antah berantah.

“Dimanakah aku ini?”

Tak berapa lama lonceng bel berbunyi. Dibandingkan bunyi bel pertanda usai sekolah, lebih tepatnya seperti bunyi bel kebebasan dari penatnya pelajaran yang tiap hari mereka dapatkan. Namun ada yang janggal hari itu. Walaupun bel kebebasan telah dipukul, tak satupun murid keluar dari ruang kelas Manusia kecil.

Manusia kecil memasukkan peralatan tulis menulisnya sambil melirik-lirik sekelilingnya. Seperti kembali ke masa lalu. Adegan yang sama terulang kembali. Beberapa dari mereka duduk diam dan yang lainnya beranjak dari kursi mereka dan berdiri dihadapan Manusia kecil. Ini lebih buruk dari apa yang ia sangka.

“Ngaku aja deh, cil!” teriak salah satu dari mereka yang tengah duduk membelakangi dia.

Manusia kecil merasa ini tak adil. Mengapa jadi dia yang terpojokkan atas semua ini. Apakah asas praduga tak bersalah masih ada di dunia ini. Apakah mereka tak bisa melihat bahwa ini adalah suatu kesalahpahaman. Apakah arti teman itu hanya sebatas di bibir saja?

“Apa yang harus kuakui? tak satupun dari tuduhan itu aku yang lakukan!” jawab Manusia kecil dengan tampang sedikit emosi. Kesabarannya kini sudah mulai pudar. Tak dapat yang ia lakukan. Keadaannya sudah sangat terpojok.

“Gak mau ngaku juga ya! Buktinya udah jelas kok, apa susahnya sih ngaku?” sahut anak disampingnya.

“Masa kalian gak percaya sih, ini semua cuman salah paham. Biar aku jelasin dulu, kita kan temen?” pinta Manusia kecil mememelas.

“Jelasin apa? Jelasin gimana kamu maling itu uang, hah!” Teriak anak di depannya

 “Ga, aku bukan maling, aku ga ngambil uang dari kotak “mimpi” kita. Sebenernya itu uang.....”

“Alah, alesan aja kamu, dasar pembohong!” potong anak di samping manusia kecil

Suara gaduh mulai terdengar di setiap pojok ruang kelas. Terdengar jelas kalimat “Maling” dan “Ngaku” terucap berulang-ulang. Hati kecilnya semakin sakit saat melihat kelakukan teman sekelasnya itu. “Karena nila setitik, rusak susu sebelangga” kutipan itu terngiang-ngiang dibenaknya saat itu. Hanya karena satu keburukan, segala nilai kebaikan itu akan terlihat samar-samar, bahkan hilang tak berbekas. Dan lebih buruknya, Manusia kecil tengah mencicipi adalah keburukan yang dibuat-buat oleh perasangka buruk dan fitnah.
Badannya mulai bergetar ditengah serbuan caci maki. Matanya kini sudah basah. Wajahnya sudah tak kuat lagi untuk menampakkan diri. Kakinya sudah siap untuk mengambil ancang-ancang untuk lari. Lari yang jauh. Lari dari masalah ini.

Manusia kecil mengambil tasnya dan berlari secepat kilat keluar dari kelasnya.

“Woi mau kemana kamu cil! Jangan kabur! Mau kita laporin ke bu guru?!” teriak teman sekelasnya.

Manusia kecil tak menggubris  ancaman mereka. Satu hal yang ada di benaknya. Secepat-cepatnya sampai di rumah.

“Aku ingin pulang”

0 comments:

Posting Komentar

 
;