Mari kita buka cerita ini...
Tak dapat dipungkiri bahwa anak ini begitu lugu dan
polos layaknya selembar kertas putih yang masih kosong tanpa coretan.
Dan kertas kosong itu pun makin hari akan makin terisi. Terisi dengan berbagai
pengalaman yang ia dapatkan dari kelima aspek indera yang manusia miliki yaitu
pernglihatan, pendengaran, penciuman, pengecapan dan sentuhan, sehingga muncul banyaknya pertanyaan tentang hidup ini yang menghiasi kepala manusia
kecil ini. tak banyak pertanyaan itu dapat terjawab sepenuhnya hanya dari melihat dan mendengar saja. Kadang rasa penasaran untuk mencari sendiri jawaban itu pun muncul, ya
dapat dibilang manusia kecil butuh jawaban versi dirinya.
Hari demi hari, jam demi jam, menit demi menit, dan
detik demi detik terus berlalu. Banyak pengetahuan dan kemampuan yang telah didapatkan
oleh manusia kecil. Dari pengetahuan membuat kue dari tanah sampai mampu
membuat warna putih baju berubah hitam kecoklatan. Sungguh ajaib mungkin dapat
dibilang itulah keseharian yang dilakukan oleh manusia kecil yang diawali
dengan makan, bermain, buang air, tidur, dan kembali lagi makan. Siklus yang
pastinya mainstream dan terlihat
biasa tapi di mata manusia kecil sangatlah indah dan menyenangkan. Itulah
pelajaran awal tentang hidup yang ia dapatkan. Bahwa hidup itu adalah “ladang permainan”. Oleh
karena itu mari kita bermain kawanku, habiskan hidup kita hari ini dengan canda
tawa sampai habis keringat ini, sampai habis tenaga ini, sampai habis tawa ini dan
akhirnya rasa kantuk hadir di kedua kelopak mata kita.
Langkah riang dan teriakan kecil selalu menghiasi
rumah kecil itu. Rumah kecil yang hanya terisi oleh keluarga kecil ini, Ayah,
ibu, dan si manusia kecil. Manusia kecil berlari mengelilingi ibu yang tengah
duduk di atas karpet yang menutupi lantai berdebu itu. Wajahnya manis dan
bersemangat setelah ibu memberi makan dia pagi itu. Ibu yang tengah menyetrika
pakaian hanya bisa tersenyum melihat anaknya berlarian, walaupun nampak sedikit
khawati kalau kalau anak satu-satunya itu jatuh terpeleset ataupun berbenturan
dengan benda tumpul atau tajam yang ada di ruangan itu. Namun manusia kecil tak
terlalu memperdulikan kekhawatiran ibu itu. Dia merasa sudah cukup besar
walaupun tingginya itu belum mencapai tinggi meja makan pada umumnya. Setelah
merasa capek, dia mengambil beberapa mainan kecilnya dan duduk di samping ibu. Dia
sekali-kali melirik ke arah ibu seolah-olah memanggilnya untuk ikut serta
bermain dengannya. Namun ibu tengah asik menyetrika dan membuatnya tak begitu
memperhatikannya saat itu. Manusia kecil pun hanya bisa duduk diam dan berpikir
bahwa baju itu telah mengambil perhatian ibu sehingga lupa kepadanya. Akhirnya
tangisan dia pun pecah dan mengagetkan ibu yang ada di sampingnya. Lalu ibu pun
menghentikan aktivitas menyetrikanya dan menggendong anaknya yang menangis itu
dan berjalan ke luar rumah sambil mencoba menenangkan manusia kecil. Ibu hanya
tersenyum melihat anaknya yang tengah menangis itu. Manusia kecil merasa
bingung mengapa ibunya tersenyum dan tangisannya pun reda. “Manusia kecil,
menangislah bila memang tangisan itu dapat meredakan kekesalan dan amarahmu dan cobalah untuk tersenyum karena senyuman adalah tanda bahwa dirimu kuat untuk
melupakan dan merelakan kekesalanmu itu”, ibu berkata pelan sambil mengelus
kepalanya. Manusia kecil hanya terdiam. Tak satupun perkataan ibunya itu dapat
ia mengerti. Namun elusan dari ibunya cukup membuatnya kembali tenang dan
akhirnya terlelap tidur di pangkuan ibu. Ibu membawanya masuk ke dalam rumah dan membaringkannya di tempat tidur dan berkata "Selamat tidur manusia kecil, bila tak banyak yang bisa kau lakukan dan dapatkan saat kau terbangun, cobalah bermimpi dan penuhi itu semua di alam mimpimu, namun bila itu tak saja cukup bermimpilah, bercita-citalah dan bangun mimpi itu saat kau terbangun" sambil mengecup kening manusia kecil.
0 comments:
Posting Komentar