Rabu, 07 Agustus 2013

Notes49 : Ilmu dari mereka

Apa yang dapat kita berikan dari seorang mahasiswa mungkin adalah sharing ilmu yang bermanfaat untuk orang lain. Tak hanya untuk urang tengah membutuhkan saja tapi untuk semua orang, alhamdulillah bila ilmu itu dapat menolong di kemudian hari. Sebelum kita bahas soal pengalaman ber-KKNM mari kita ketahui dahulu tentang program ini. 

KKNM yang tengah berjalan di Unpad terdapat dua jenis, yaitu KKNM Integratif dan Tematik. KKNM Integratif merupakan salah satu KKNM dimana kita semua diharuskan untuk membaur bersama masyaraakat. Kita dituntut untuk menjadi bagian masyarakat, tidak melebur tapi hanya membaru. Harapannya kita dapat mengambil ilmu dan hikmah sebanyak-banyaknya dari pola hidup masyarakat yang bisa kita gunakan sebagai modal pengalaman di kancah kerja pascasarjana. Kami belajar dari mereka, dan sebaliknya mereka pun belajar dari kami, suatu bentuk timbal balik yang baik. Sedangkan untuk KKNM Tematik itu berbeda, dimana mahasiswa dituntut untuk melaksanakan suatu program tertentu atau KKNM bertema yang telah menjadi sasaran tertentu pada daerah yang mereka tinggali. Mungkin saya tak begitu tahu lebih rinci mengenai kedua jenis KKNM tersebut tapi mungkin bisa menggambarkannya saja.

Ilmu itu begitu banyak bertebaran di bumi dan seharusnya kita semangat untuk meraihnya. Tak berbeda dengan lingkungan hijau di tanah Salakaria, setiap orang pastinya memiliki keingintahuan yang besar.
Lucu juga menjadi mahasiswa yang baru saja UAS “nyasar” di desa orang asing yang tak pernah terbayang dan terpikirkan untuk berkunjung dan menetap selama 1 bulan penuh. Kehidupan kampus pastinya sangatlah berbeda dengan lingkungan sesungguhnya di masyarakat, khusunya lingkungan pedesaan. Banyak sekali nilai, norma, adat, serta kebiasaan yang sudah turun temurun ada di desa tersebut. Dan itulah yang menjadi tujuan kami di sana. Meraih ilmu mereka yang melekat pada setiap keperjalanan harian para warga desa ini. Dimulai dari kebiasaan mereka bangun tidur hingga akhirnya kembali terlelap dalam tidurnya.
Reaksi yang mereka tunjukan saat bertemu kita adalah tersenyum, memberikan salam dan sapa. Berbeda mungkin dengan lingkungan kota yang mungkin jarang sekali saling sapa, walaupun belum kenal sama sekali. Sedikit canggung mungkin perasaan di awal, tapi salah seorang warga pernah mengingatkan bahwa kita semua adalah “dulur” atau keluarga, jadi jangan sungkan-sungkan. Itu satu poin dari kebiasaan warga desa yang mudah berbaur dan pastinya ramah.

Warga desa memang mayoritas bekerja di lingkungan persawahan atau perkebunan, oleh karena itu mereka giat bangun pagi dan berangkat ke sawah. Luar biasa, pagi hari yang cukup dingin tetap diterobos untuk bekerja. Tujuan mereka hanyalah sawah yang ditanami padi, tapi itulah rutinitas mereka, pagi ke sawah dan pulang ke rumah siang harinya. Ngomong-ngomong soal padi, mungkin kita teringat bahwa nasi berasal dari beras yang awalnya adalah padi  tidak muncul tiba-tiba di depan mata atau tiba-tiba ada di penjual beraskan? Mungkin bila tidak ada mereka akankah nasi ada di meja makan kita saat kita makan? Setiap orang memiliki peran penting masing-masing, merekalah petani yang bergerak dalam bidang pertanian dan penyediaan bahan pangan, walaupun mereka bekerja di lingkungan kotor dan panas, tapi nilai mereka lebih bagus dibandingkan hanya kita yang duduk berdiam diri karena takut panasnya matahari. Kerja keras memanglah pasti berbuahkan yang manis diakhirnya, yang sudah kita kira ataukan tak sama sekali.

Kesederhanaan memang melekat kuat di lingkungan desa, namun kemajuan jaman pastilah penting untuk perkembangan ke depan desa. Desa mungkin mengambil sedikit kemajuan jaman sebagai alat untuk memperbaiki kualitas produksi dalam negeri bukan diperbudak oleh majunya jaman. Angkutan umum antar desa itu tidak ada, para warga hanya mengandalkan sepeda motor untuk mengatasi perjalanan yang jauh antar dusun ataupun lintas desa, dan mobil pun dapat kita hitung dengan jari jumlahnya. Mobil hanya digunakan untuk transportasi masal seperti pengangkutan hasil panen dan lainnya. Mayoritas warga masih menggunakan kaki-kaki kuat mereka untuk berjalan bila memang jarak tempuh tidak begitu jauh. Mungkin ini terdengar lucu ataupun keren, dimana “dekat” untuk warga desa itu berbeda dengan arti “dekat” di kota. dikarenakan jarak satu rumah ke rumah lain cukup jauh gapnya dan kebiasaan warga berjalan dengan kaki, dekat itu bisa mencapai 1 km. Jadi bila di desa dikatakan dekat, maka siap-siapkan kakimu untuk berjalan jauh hehe.


Desa Salakaria yang kami datangi itu memiliki penduduk yang seluruhnya beragama Islam. Dalam satu desa terdapat 25 mushola dan 7 masjid jami. Masjid jami biasanya dipakai untuk ibadah-ibadah bersama seperti shalat jum’at atau shalat sunnat tarawih. Pengajian selalu rutin dilakukan di desa ini. Bila ditanya ada program atau acara apa saja di desa, jawabannya pasti pengajian dan pengajian lagi. Pengajian ada yang rutin setiap minggu di tiap dusun dan ada pula pengajian rutin bulanan desa. Pengajian bisa untuk umum, ibu-ibu dan anak-anak. Luar biasa sekali suasana ruhani di desa tersebut. Makna Islam masihlah terus bermekaran dan dijaga di desa tersebut. Hal tersebut mungkin menjadi modal bagi warga untuk tetap mengingatkan diri bahwa mereka tetaplah manusia dan mahluk ciptaan Allah. Suatu bentuk modal untuk tidak menyombongkan diri. 

Sungguh damai dan indah sekali, walaupun warga sedikit dengan luas wilayah yang besar, desa memang tempat yang baik sebagai sarana menenangkan hati dan pikiran. Tak perlu berpusing-pusing ria karena rasa ikhlas itu ada. 

0 comments:

Posting Komentar

 
;