Apa yang dapat kita berikan dari
seorang mahasiswa mungkin adalah sharing
ilmu yang bermanfaat untuk orang lain. Tak hanya untuk urang tengah membutuhkan
saja tapi untuk semua orang, alhamdulillah bila ilmu itu dapat menolong di
kemudian hari. Sebelum kita bahas soal pengalaman ber-KKNM mari kita ketahui
dahulu tentang program ini.
KKNM yang tengah berjalan di
Unpad terdapat dua jenis, yaitu KKNM Integratif dan Tematik. KKNM Integratif
merupakan salah satu KKNM dimana kita semua diharuskan untuk membaur bersama
masyaraakat. Kita dituntut untuk menjadi bagian masyarakat, tidak melebur tapi
hanya membaru. Harapannya kita dapat mengambil ilmu dan hikmah
sebanyak-banyaknya dari pola hidup masyarakat yang bisa kita gunakan sebagai
modal pengalaman di kancah kerja pascasarjana. Kami belajar dari mereka, dan
sebaliknya mereka pun belajar dari kami, suatu bentuk timbal balik yang baik.
Sedangkan untuk KKNM Tematik itu berbeda, dimana mahasiswa dituntut untuk
melaksanakan suatu program tertentu atau KKNM bertema yang telah menjadi
sasaran tertentu pada daerah yang mereka tinggali. Mungkin saya tak begitu tahu
lebih rinci mengenai kedua jenis KKNM tersebut tapi mungkin bisa
menggambarkannya saja.
Ilmu itu begitu banyak bertebaran
di bumi dan seharusnya kita semangat untuk meraihnya. Tak berbeda dengan
lingkungan hijau di tanah Salakaria, setiap orang pastinya memiliki
keingintahuan yang besar.
Lucu juga menjadi mahasiswa yang
baru saja UAS “nyasar” di desa orang asing yang tak pernah terbayang dan
terpikirkan untuk berkunjung dan menetap selama 1 bulan penuh. Kehidupan kampus
pastinya sangatlah berbeda dengan lingkungan sesungguhnya di masyarakat,
khusunya lingkungan pedesaan. Banyak sekali nilai, norma, adat, serta kebiasaan
yang sudah turun temurun ada di desa tersebut. Dan itulah yang menjadi tujuan
kami di sana. Meraih ilmu mereka yang melekat pada setiap keperjalanan harian
para warga desa ini. Dimulai dari kebiasaan mereka bangun tidur hingga akhirnya
kembali terlelap dalam tidurnya.
Reaksi yang mereka tunjukan saat
bertemu kita adalah tersenyum, memberikan salam dan sapa. Berbeda mungkin
dengan lingkungan kota yang mungkin jarang sekali saling sapa, walaupun belum
kenal sama sekali. Sedikit canggung mungkin perasaan di awal, tapi salah
seorang warga pernah mengingatkan bahwa kita semua adalah “dulur” atau
keluarga, jadi jangan sungkan-sungkan. Itu satu poin dari kebiasaan warga desa
yang mudah berbaur dan pastinya ramah.
Warga desa memang mayoritas
bekerja di lingkungan persawahan atau perkebunan, oleh karena itu mereka giat
bangun pagi dan berangkat ke sawah. Luar biasa, pagi hari yang cukup dingin
tetap diterobos untuk bekerja. Tujuan mereka hanyalah sawah yang ditanami padi,
tapi itulah rutinitas mereka, pagi ke sawah dan pulang ke rumah siang harinya.
Ngomong-ngomong soal padi, mungkin kita teringat bahwa nasi berasal dari beras
yang awalnya adalah padi tidak muncul
tiba-tiba di depan mata atau tiba-tiba ada di penjual beraskan? Mungkin bila
tidak ada mereka akankah nasi ada di meja makan kita saat kita makan? Setiap
orang memiliki peran penting masing-masing, merekalah petani yang bergerak
dalam bidang pertanian dan penyediaan bahan pangan, walaupun mereka bekerja di
lingkungan kotor dan panas, tapi nilai mereka lebih bagus dibandingkan hanya
kita yang duduk berdiam diri karena takut panasnya matahari. Kerja keras
memanglah pasti berbuahkan yang manis diakhirnya, yang sudah kita kira ataukan
tak sama sekali.
Kesederhanaan memang melekat kuat
di lingkungan desa, namun kemajuan jaman pastilah penting untuk perkembangan ke
depan desa. Desa mungkin mengambil sedikit kemajuan jaman sebagai alat untuk
memperbaiki kualitas produksi dalam negeri bukan diperbudak oleh majunya jaman.
Angkutan umum antar desa itu tidak ada, para warga hanya mengandalkan sepeda
motor untuk mengatasi perjalanan yang jauh antar dusun ataupun lintas desa, dan
mobil pun dapat kita hitung dengan jari jumlahnya. Mobil hanya digunakan untuk
transportasi masal seperti pengangkutan hasil panen dan lainnya. Mayoritas
warga masih menggunakan kaki-kaki kuat mereka untuk berjalan bila memang jarak
tempuh tidak begitu jauh. Mungkin ini terdengar lucu ataupun keren, dimana
“dekat” untuk warga desa itu berbeda dengan arti “dekat” di kota. dikarenakan
jarak satu rumah ke rumah lain cukup jauh gapnya
dan kebiasaan warga berjalan dengan kaki, dekat itu bisa mencapai 1 km. Jadi
bila di desa dikatakan dekat, maka siap-siapkan kakimu untuk berjalan jauh
hehe.
Desa Salakaria yang kami datangi
itu memiliki penduduk yang seluruhnya beragama Islam. Dalam satu desa terdapat
25 mushola dan 7 masjid jami. Masjid jami biasanya dipakai untuk ibadah-ibadah
bersama seperti shalat jum’at atau shalat sunnat tarawih. Pengajian selalu
rutin dilakukan di desa ini. Bila ditanya ada program atau acara apa saja di
desa, jawabannya pasti pengajian dan pengajian lagi. Pengajian ada yang rutin
setiap minggu di tiap dusun dan ada pula pengajian rutin bulanan desa.
Pengajian bisa untuk umum, ibu-ibu dan anak-anak. Luar biasa sekali suasana
ruhani di desa tersebut. Makna Islam masihlah terus bermekaran dan dijaga di
desa tersebut. Hal tersebut mungkin menjadi modal bagi warga untuk tetap
mengingatkan diri bahwa mereka tetaplah manusia dan mahluk ciptaan Allah. Suatu
bentuk modal untuk tidak menyombongkan diri.
Sungguh damai dan indah sekali,
walaupun warga sedikit dengan luas wilayah yang besar, desa memang tempat yang
baik sebagai sarana menenangkan hati dan pikiran. Tak perlu berpusing-pusing
ria karena rasa ikhlas itu ada.
0 comments:
Posting Komentar