Minggu, 19 Oktober 2014

About Him #1

Itu rumah temanku. Rumahnya biasa saja, hanya sebuah rumah besar tua yang dibagi dua. Panjang kisahnya bagaimana rumah besar tua itu terbagi dua, namun intinya rumah besar itu adalah warisan dari kakek temanku. Satu bagian diambil oleh bibinya, sedangkan satu bagiannya lagi menjadi anugerah yang telah diberikan Allah untuk tempat tinggal ayah ibunya kelak. Diantara rumah itu dulu terdapat lemari besar yang memisahkan kedua area rumah, namun sekarang tembok kokoh sudah menutup dan membagi secara adil rumah besar itu. Dan di salah satu bagian rumah besar tua itu hiduplah dia dan keluarganya.

Sudah lama aku kenal dengannya. Bila ingatanku tak membodohi dan membohongiku, aku sudah mengenalnya sejak aku pergi bermain ke luar rumah pertama kalinya. Bagaimana dia saat itu? Ingatanku samar-samar, yang kutahu dia adalah seorang “anak mama” yang selalu ingin ibunya berada di sampingnya. Minuman kesenangannya adalah susu. Tak jarang aku melihatnya menangis bila dalam sehari dia tidak minum susu. Mungkin dulu dia cengeng karena watak seorang anak kecil memang seperti itu. Tapi aku pun tak dapat memungkiri bahwa waktu kecil dulu menangis itu adalah hal wajar dan senjata pamungkas untuk menarik perhatian ibuku hahaha.

Rumahku dan rumahnya tak begitu jauh, mungkin hanya 150 meter jaraknya dari rumahku. Rumahnya memang tak begitu besar, tapi cukup besar untuk tempat tinggal yang dihuni empat orang, yaitu ayah ibunya, dia, serta adik perempuan kecilnya. Walaupun mereka bukan keluarga kaya raya, namun mereka berkecukupan dan sederhana. Dan aku tak terlalu khawatir, karena keluarga besarnya adalah tetangga-tetangga samping rumahnya yang pasti siap gotong royong saling membantu bila ada masalah.

Aku bertemu pertama kali dengannya saat ibuku membawaku untuk bersilaturahmi kepada keluarga besar mereka pada saat lebaran. Sungguh ramai sekali lingkungan rumahnya. Yang pasti karena keluarga besar ayahnya tinggal dekat rumahnya. Dari mulai keluarga kakak ayahnya yang pertama sampai ke delapan datang berkumpul di rumah neneknya yang persis berada di samping rumahnya. Tak heran tiap kali lebaran suasana begitu ramai.

Hari itu ketika aku berumur 5 tahun dan itu merupakan lebaran pertama kali saat aku latihan untuk melaksanakan ibadah shaum yang telah Allah wajibkan sejak dulu. Shaumku memang masih belum sempurna, masih “puasa ayakan” kalau orang sunda bilang, yaitu shaum setengah hari. Tapi akupun sudah bisa puasa satu hari penuh, cuman yang namanya anak kecil godaan untuk membatalkan puasa itu banyak, dari tergoda lihat teman makan es krim sampai meraung-raung menangis karena haus hahaha. Lucu sekali bahwa dulu kita pastinya pernah seperti itu hehe.

Dia terlihat malu saat aku diminta ibuku untuk bersalaman dengannya. Dia bersembunyi di belakang ibunya, dan kadang-kadang mengintip ke arahku. Aku hanya bisa tersenyum dan mengajaknya berkenalan. Atas bujukan ibunya, akhirnya dia meraih tanganku dan kami pun bersalaman.

“Namaku Muslim, siapa namamu?”

“Namaku Ihsan”

Setelah itu aku pergi bersama ibuku untuk berkeliling untuk bersilaturahmi dengan tetangga rumahku yang lain. Terakhir yang ku ingat hanyalah muka malu polosnya saat kita berkenalan, kepalanya menunduk malu dan memegang erat tanganku sesaat sebelum dia lari pergi bersembunyi kembali di belakang ibunya.

Pertemuan awalku dengannya mungkin sesimpel itu namun aku tak mengerti bagaimana atau mengapa Allah telah menggariskan itu semua. Cerita-ceritaku dengannya telah lama kulalui namun cerita-cerita itu tak pernah habis seiring datangnya mentari esok hari. 


Ini mungkin hanya sebuah cerita membosankan mengenai berat dan mudahnya meraih suatu tujuan. Bukan suatu impian, namun sebuah tujuan yang tak pernah mengharapkan suatu hasil terbaik ataupun keberhasilan yang pasti menghampiri. Tak lain hanyalah sebuah bayang-bayang keikhlasan yang ada dibenaknya. Sebuah cerita tentang seorang anak laki-laki yang tak mengenal arti bagaimana membuat senang dirinya sendiri, atau lebih tepatnya cerita tentang bagaimana ia melihat indahnya senyuman orang lain dibanding rasa tinggi atas pribadinya sendiri. Walaupun membosankan tak berarti bahwa cerita ini tidak patut untuk ku tulis. Karena ini adalah tentang dia. 

0 comments:

Posting Komentar

 
;