Itu rumah temanku. Rumahnya biasa saja, hanya
sebuah rumah besar tua yang dibagi dua. Panjang kisahnya bagaimana rumah besar
tua itu terbagi dua, namun intinya rumah besar itu adalah warisan dari kakek
temanku. Satu bagian diambil oleh bibinya, sedangkan satu bagiannya lagi
menjadi anugerah yang telah diberikan Allah untuk tempat tinggal ayah ibunya
kelak. Diantara rumah itu dulu terdapat lemari besar yang memisahkan kedua area
rumah, namun sekarang tembok kokoh sudah menutup dan membagi secara adil rumah
besar itu. Dan di salah satu bagian rumah besar tua itu hiduplah dia dan
keluarganya.
Sudah lama aku kenal dengannya. Bila ingatanku tak
membodohi dan membohongiku, aku sudah mengenalnya sejak aku pergi bermain ke
luar rumah pertama kalinya. Bagaimana dia saat itu? Ingatanku samar-samar, yang
kutahu dia adalah seorang “anak mama” yang selalu ingin ibunya berada di
sampingnya. Minuman kesenangannya adalah susu. Tak jarang aku melihatnya
menangis bila dalam sehari dia tidak minum susu. Mungkin dulu dia cengeng
karena watak seorang anak kecil memang seperti itu. Tapi aku pun tak dapat
memungkiri bahwa waktu kecil dulu menangis itu adalah hal wajar dan senjata
pamungkas untuk menarik perhatian ibuku hahaha.
Rumahku dan rumahnya tak begitu jauh, mungkin hanya
150 meter jaraknya dari rumahku. Rumahnya memang tak begitu besar, tapi cukup
besar untuk tempat tinggal yang dihuni empat orang, yaitu ayah ibunya, dia,
serta adik perempuan kecilnya. Walaupun mereka bukan keluarga kaya raya, namun
mereka berkecukupan dan sederhana. Dan aku tak terlalu khawatir, karena
keluarga besarnya adalah tetangga-tetangga samping rumahnya yang pasti siap
gotong royong saling membantu bila ada masalah.
Aku bertemu pertama kali dengannya saat ibuku
membawaku untuk bersilaturahmi kepada keluarga besar mereka pada saat lebaran.
Sungguh ramai sekali lingkungan rumahnya. Yang pasti karena keluarga besar
ayahnya tinggal dekat rumahnya. Dari mulai keluarga kakak ayahnya yang pertama
sampai ke delapan datang berkumpul di rumah neneknya yang persis berada di
samping rumahnya. Tak heran tiap kali lebaran suasana begitu ramai.
Hari itu ketika aku berumur 5 tahun dan itu
merupakan lebaran pertama kali saat aku latihan untuk melaksanakan ibadah shaum
yang telah Allah wajibkan sejak dulu. Shaumku memang masih belum sempurna,
masih “puasa ayakan” kalau orang sunda bilang, yaitu shaum setengah hari. Tapi
akupun sudah bisa puasa satu hari penuh, cuman yang namanya anak kecil godaan
untuk membatalkan puasa itu banyak, dari tergoda lihat teman makan es krim
sampai meraung-raung menangis karena haus hahaha. Lucu sekali bahwa dulu kita
pastinya pernah seperti itu hehe.
Dia terlihat malu saat aku diminta ibuku untuk
bersalaman dengannya. Dia bersembunyi di belakang ibunya, dan kadang-kadang
mengintip ke arahku. Aku hanya bisa tersenyum dan mengajaknya berkenalan. Atas
bujukan ibunya, akhirnya dia meraih tanganku dan kami pun bersalaman.
“Namaku Muslim, siapa namamu?”
“Namaku Ihsan”
Setelah itu aku pergi bersama ibuku untuk
berkeliling untuk bersilaturahmi dengan tetangga rumahku yang lain. Terakhir
yang ku ingat hanyalah muka malu polosnya saat kita berkenalan, kepalanya
menunduk malu dan memegang erat tanganku sesaat sebelum dia lari pergi
bersembunyi kembali di belakang ibunya.
Pertemuan awalku dengannya mungkin sesimpel itu
namun aku tak mengerti bagaimana atau mengapa Allah telah menggariskan itu
semua. Cerita-ceritaku dengannya telah lama kulalui namun cerita-cerita itu tak
pernah habis seiring datangnya mentari esok hari.
Ini mungkin hanya sebuah cerita membosankan
mengenai berat dan mudahnya meraih suatu tujuan. Bukan suatu impian, namun
sebuah tujuan yang tak pernah mengharapkan suatu hasil terbaik ataupun
keberhasilan yang pasti menghampiri. Tak lain hanyalah sebuah bayang-bayang
keikhlasan yang ada dibenaknya. Sebuah cerita tentang seorang anak laki-laki
yang tak mengenal arti bagaimana membuat senang dirinya sendiri, atau lebih
tepatnya cerita tentang bagaimana ia melihat indahnya senyuman orang lain
dibanding rasa tinggi atas pribadinya sendiri. Walaupun membosankan tak berarti
bahwa cerita ini tidak patut untuk ku tulis. Karena ini adalah tentang dia.
0 comments:
Posting Komentar