Rabu, 03 April 2013

Story 3 : Hari santai si Kecil dan Mungil

Hari ini juga panas. Matahari masih saja terus bersemangat untuk tetap menyinari rumahnya ini pikir manusia kecil. Musim panas mungkin memang begini adanya, identik dengan hal-hal yang panas, cuaca panas,  badan jadi panas dan akhirnya malas sekali keluar untuk panas-panasan. Manusia kecil akhirnya hanya duduk di atas kursi di beranda luar rumahnya. Terlihat sekali halaman yang berada di depan rumahnya itu sangat terang dan pastinya panas. Tak sedikit orang yang berjalan di depan rumahnya mengusap air keringat mereka yang bercucuran sebagai bentuk tanda bahwa memang benar hari itu begitu panas.
Jam sudah menunjukan pukul satu siang. Rasa panas ini makin menyengat saja, perlahan tapi pasti. Keringat sudah membasahi baju merah yang dikenakaannya, namun manusia kecil hanya diam menatap jalanan yang ramai, hilir mudik dilewati para pejalan kaki. Sekali-kali dia mengusap keringat yang membasahi jidatnya yang lebar itu. Tak tahu apa yang ia tunggu atau apa yang tengah ia pikirkan kala itu. Lalu ia memejamkan mata dan duduk santai di kursi yang terbuat dari kayu tersebut. Tersenyumlah dia.

Panasnya hari itu tak hanya bisa membuat es dapat mencair dengan sangat cepat, tapi juga bisa mencairkan hati yang dingin dan tenang daan akhirnya dapat memanaskannya menjadi penuh resah dan rasa jengkel. Sungguh asyik sekali gumam manusia kecil ketika tengah duduk santai di singgasana sederhananya. Dia memang bukan raja yang menguasai suatu kerajaan yang megah, tapi ia merasa sebagai seorang raja dalam hidupnya sendiri, dan pastinya punya hak atasnya. Tiba-tiba terdengar sahutan dari arah jalanan setapak yang dari tadi hilir mudik dilewati orang. Manusia kecil membuka mata dan mencari siapa gerangan yang mengusik waktu santainya itu. Lalu ia pun melihat ke arah gerbang rumahnya yang dibatasi oleh pagar kecil yang terbuat dari besi yang sudah berkarat. Siapakah itu? pikirnya.

Terlihat seorang anak bertubuh mungil melambai-lambaikan tangannya. Manusia kecil tak begitu jelas dapat melihat wajah anak itu. Lalu ia pun bangun dari singgasananya dan berlari-lari kecil ke arah pagar. Setibanya di pagar, anak itu berteriak kencang ke arah manusia kecil. Tak terdengar jelas apa yang ia teriakan, namun terikannya sudah pasti mengagetkan manusia kecil. Merasa tertantang dan ingin menunjukan bahwa ia lebih hebat dari lawannya yang tiba-tiba datang dan mengusik waktu santainya, ia pun juga berteriak dengan keras dan mengagetkan beberapa pengguna jalan di depan rumahnya itu. Tak terlalu penting isi teriakannya, namun yang pasti volumenya haruslah tinggi.

Merasa teriakannya lebih keras dibandingkan anak tersebut, manusia kecil terlihat sangat bangga dan puas. Namun tiba-tiba, tanpa diduga sama sekali, terdengarlah suara yang lebih keras dari anak itu. Bukan suara teriakan balasan yang ia duga akan manusia kecil dapatkan, namun suara tangisan dan raungan yang keras yang memaksanya untuk menutup telinganya rapat-rapat. Beberapa pengguna jalan ada yang terhenti langkahnya dan melirik ke arah suara tangisan tersebut dan bertanya-tanya apa yang tengah terjadi. Manusia kecil hanya mematung dan membisu. Apa yang telah terjadi sesungguhnya.

Anak itu adalah si anak mungil. Teman satu permainan dari manusia kecil. Dia datang untuk mengunjunginya di hari libur untuk mengajaknya bermain. Teriakannya adalah ciri khas dia untuk memanggil kawan karibnya, si manusia kecil. Singkat cerita anak mungil dan manusia kecil sudah berada di dalam rumah manusia kecil dan perkara yang membuat heboh di depan rumahnya sudah terselesaikan. Mereka berdua tersenyum satu sama lain dan saling meminta maaf.  Mereka tahu dari pada berlarut-larut memikirkan hal itu lebih baik mereka menghabiskan waktu lebihnya dengan bermain karena hari libur itu sangat singkat dan pastinya cepat akan berlalu.

Jam sudah menunjukan pukul setengah 5 sore. Panasnya siang itu lambat laun mulai berkurang saat sore hari datang. Setelah merasa lelah bermain bersama kawan karibnya, manusia kecil mengajak kawannya itu duduk di atas kursi di beranda rumah untuk beristrirahat. Manusia kecil memberitahu anak mungil untuk mengikuti apa yang ia lakukan tadi siang yaitu duduk santai serta memejamkan matanya. Anak mungil ikut saja pintaan kawannya tersebut. Ini momen yang pas untuk manjutkan apa yang belum tuntas ia kerjakan tadi siang pikirnya.

Mereka bedua duduk diam. Anak mungil dengan rasa keingin tahuannya bertanya pada kawanya tentang apa yang sebenarnya tengah mereka lakukan. Manusia kecil hanya tersenyum dan meletakan telunjuknya di mulutnya untuk menisyaratkan temannya untuk diam. Anak mungil hanya terlihat makin bingung  atas sikap kawannya tersebut, dan bepikir lebih baik untuk diam dan mengamati apa yang tengah dilakukan oleh kawannya tersebut.

Tiba-tiba angin berhembus ke arah mereka. Sungguh terasa nyaman dan nikmat sekali, pastinya ketika tengah dalam keadaan panas dan rasa lelah telah memuncak akibat bermain.  Diperhatikannya wajah kawannya itu, terlihat tentram dan damai. Anak mungil pun tanpa berpikir panjang mengikuti kembali apa yang kawannya itu minta untuk lakukan. Manusia kecil membuka matanya dan berkata bahwa sore akan semakin larut dan alangkah baiknya ia pulang. Anak mungil membalas perkataan manusia kecil dengan mengangkat tangan dan menempelkan jari telunjuknya dibibirnya meminta kawannya untuk kembali diam. Manusia kecil tertawa kecil melihat prilaku kawannya itu dan akhirnya kembali memejamkan matanya. Dia pun kembali berkata pada kawanya, “Ini caraku melupakan rasa panas yang ada di sekelilingku, aku hanya diam dan menanti akan datangnya angin sejuk yang pasti suatu saat datang padaku dan memadamkan panas itu.” Dan anak mungin pun membalas perkataan kawannya itu, “kau benar kawanku,  dan ini sungguh menyenangkan.” Tak lama mereka pun terlelap tidur bersama-sama. 

0 comments:

Posting Komentar

 
;